Petualangan Masa Kecil
Ingat pengalaman yang satu ini membuat saya tersenyum bercampur sedih. Tersenyum karena ingat tingkah dan kelakuan saya sewaktu masih kecil dulu dan sedih karena ingat sahabat yang kini sudah lama tak bertemu lagi. Pemburu api, sebenarnya hanya sebuah ungkapan buat saya dimana semasa kecil saat usia sekolah dasar saya dan beberapa teman sering ikut memadamkan api di lahan dan hutan yang dekat dengan perkampungan.
Pemburu api di tujukan kepada orang (tua muda) yang peduli akan kebakaran hutan rawa yang terjadi di setiap kemarau. Kadang kebakaran hutan dan lahan ini tidak jarang mengancam rumah-rumah yang tidak terurus sehingga rumput-rumput di sekitar rumah menjadi media api untuk melahap rumah tersebut. Umumnya rumah itu adalah rumah pendatang baru atau sekedar rumah persinggahan orang-orang yang bercocok tanam/bersawah.
Di kampung saya pada masa itu merupakan sebuah kebiasaan, untuk menjaga rumah-rumah kosong yang terancam bahaya api meski kami tidak mengenal pemiliknya. Tua muda berjuang memadamkan api jika jarak api dengan rumah sudah di anggap membahayakan. Pemadaman hanya menggunakan peralatan manual dan sederhana, ember, pelepah pisang, dan batang pohon galam (Malaleuca cajaputi) adalah yang paling sering di gunakan untuk memadamkan api.
Orang tua kadang lebih santai, mereka memilih menggunakan cara "balas api" yaitu cara mencegah perluasan areal kebakaran dengan membakar bagian sisi yang berlawanan. Cara ini di pelajari secara turun temurun. Bagi kami anak-anak, sebenarnya sudah bisa dengan cara belajar dari orang dewasa namun tentu saja kami memilih memadamkannya secara manual sebab bisa sambil bermain dan penuh tantangan meskipun berisiko. Tak jarang tangan atau kaki melepuh karena percikan bara api bahkan harus batuk-batuk karena angin tiba-tiba berbalik arah dan menghembuskan asap yang memerihkan mata dan membuat nafas sesak.
Tapi itulah tantangannya yang membuat saya ingat hingga sekarang. Kami akan lebih bersemangat memburu api jika lahan yang terbakar adalah persawahan karena biasanya ada banyak singkong/ubi kayu yang di tanam dan pada saat terjadi kebakaran singkong/ubi kayu itu akan matang karena panas api. Jika api padam maka kami berebut mencabut ubi kayu yang umbinya paling besar, itu adalah upah bagi kami yang telah membantu memadamkan api. Sungguh petualangan yang tak terlupakan.
Sekarang keadaan sudah berbeda, tidak adalagi anak-anak yang peduli di desa ini akan berburu api. Semua sudah di serahkan ke BPK, kebakaran hutan masih terjadi hingga sekarang. Setiap hari di musim kemarau paru-paru harus menghisap racun asap kebakaran hutan entah sampai kapan. Jika musim kemarau tiba maka penduduk lebih suka berdiam di rumah, anak-anak lebih suka main game online atau playstation. Era yang telah berubah turut mengubah pola pikir anak-anak di desa saya dari gotong royong menjadi materialistis, tak ada kerja jika hanya mendapat komisi gratis, semua harus ada imbalan atau harga yang dibayar.
Mau punya web iklan baris sendiri klik di sini
Jika menurut anda artikel ini bermanfaat silahkan share ke teman-teman facebook anda !
Share
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar